Minggu, 09 Oktober 2011


Asal Usul Danau Toba

    Print This Post Print This Post
  • danau toba
    danau toba
    Pada zaman dahulu di suatu desa di Sumatera Utara hiduplah seorang petani bernama Toba yang menyendiri di sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan lahan pertaniannya untuk keperluan hidupnya.
    Selain mengerjakan ladangnya, kadang-kadang lelaki itu pergi memancing ke sungai yang berada tak jauh dari rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di sungai yang jernih itu memang banyak sekali ikan. Ikan hasil pancingannya dia masak untuk dimakan.
    Pada suatu sore, setelah pulang dari ladang lelaki itu langsung pergi ke sungai untuk memancing. Tetapi sudah cukup lama ia memancing tak seekor iakan pun didapatnya. Kejadian yang seperti itu,tidak pernah dialami sebelumnya. Sebab biasanya ikan di sungai itu mudah saja dia pancing. Karena sudah terlalu lama tak ada yang memakan umpan pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing. Tetapi ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik pancing itu jauh ketengah sungai. Hatinya yang tadi sudah kesal berubah menjadi gembira, Karena dia tahu bahwa ikan yang menyambar pancingnya itu adalah ikan yang besar.
    Setelah beberapa lama dia biarkan pancingnya ditarik ke sana kemari, barulah pancing itu disentakkannya, dan tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas dari mulut ikan itu. Pada saat dia sedang melepaskan mata pancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat dia pun masuk ke dalam sungai untuk mandi. Perasaannya gembira sekali karena belum pernah dia mendapat ikan sebesar itu. Dia tersenyum sambil membayangkan betapa enaknya nanti daging ikan itu kalau sudah dipanggang. Ketika meninggalkan sungai untuk pulang kerumahnya hari sudah mulai senja.
    Setibanya di rumah, lelaki itu langsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur. Ketika dia hendak menyalakan api untuk memanggang ikan itu, ternyata kayu bakar di dapur rumahnya sudah habis. Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong rumahnya. Kemudian, sambil membawa beberapa potong kayu bakar dia naik kembali ke atas rumah dan langsung menuju dapur.
    Pada saat lelaki itu tiba di dapur, dia terkejut sekali karena ikan besar itu sudah tidak ada lagi. Tetapi di tempat ikan itu tadi diletakkan tampak terhampar beberapa keping uang emas. Karena terkejut dan heran mengalami keadaan yang aneh itu, dia meninggalkan dapur dan masuk kekamar.
    Ketika lelaki itu membuka pintu kamar, tiba-tiba darahnya tersirap karena didalam kamar itu berdiri seorang perempuan dengan rambut yang panjang terurai. Perempuan itu sedang menyisir rambutnya sambil berdiri menghadap cermin yang tergantung pada dinding kamar. Sesaat kemudian perempuan itu tiba-tiba membalikkan badannya dan memandang lelaki itu yang tegak kebingungan di mulut pintu kamar. Lelaki itu menjadi sangat terpesona karena wajah perempuan yang berdiri dihadapannya luar biasa cantiknya. Dia belum pernah melihat wanita secantik itu meskipun dahulu dia sudah jauh mengembara ke berbagai negeri.
    Karena hari sudah malam, perempuan itu minta agar lampu dinyalakan. Setelah lelaki itu menyalakan lampu, dia diajak perempuan itu menemaninya kedapur karena dia hendak memasak nasi untuk mereka. Sambil menunggu nasi masak, diceritakan oleh perempuan itu bahwa dia adalah penjelmaan dari ikan besar yang tadi didapat lelaki itu ketika memancing di sungai. Kemudian dijelaskannya pula bahwa beberapa keping uang emas yang terletak di dapur itu adalah penjelmaan sisiknya. Setelah beberapa minggu perempuan itu menyatakan bersedia menerima lamarannya dengan syarat lelaki itu harus bersumpah bahwa seumur hidupnya dia tidak akan pernah mengungkit asal usul istrinya myang menjelma dari ikan. Setelah lelaki itu bersumpah demikian, kawinlah mereka.
    Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Samosir. Anak itu sngat dimanjakan ibunya yang mengakibatkan anak itu bertabiat kurang baik dan pemalas.
    Setelah cukup besar, anak itu disuruh ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di ladang. Namun, sering dia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksa ibunya yang mengantarkan nasi ke ladang.
    Suatu hari, anak itu disuruh ibunya lagi mengantarkan nasi ke ladang untuk ayahnya. Mulanya dia menolak. Akan tetapi, karena terus dipaksa ibunya, dengan kesl pergilah ia mengantarkan nasi itu. Di tengah jalan, sebagian besar nasi dan lauk pauknya dia makan. Setibanya diladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal sedikit dia berikan kepada ayahnya. Saat menerimanya, si ayah sudah merasa sangat lapar karena nasinya terlambat sekali diantarkan. Oleh karena itu, maka si ayah jadi sangat marah ketika melihat nasi yang diberikan kepadanya adalah sisa-sisa. Amarahnya makin bertambah ketika anaknya mengaku bahwa dia yang memakan sebagian besar dari nasinya itu. Kesabaran si ayah jadi hilang dan dia pukul anaknya sambil mengatakan: “Anak kurang ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang berasal dari ikan!”
    Sambil menangis, anak itu berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia mengadukan bahwa dia dipukuli ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya di ceritakan pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu. Si ibu menyuruh anaknya agar segera pergi mendaki bukit yang terletak tidak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu tertinggi yang terdapat di puncak bukit itu. Tanpa bertanya lagi, si anak segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari-lari menuju ke bukit tersebut dan mendakinya.
    Ketika tampak oleh sang ibu anaknya sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang dipanjatnya di atas bukit , dia pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah mereka itu. Ketika dia tiba di tepi sungai itu kilat menyambar disertai bunyi guruh yang megelegar. Sesaat kemudian dia melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap kemana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Pak Toba tak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar yang di kemudian hari dinamakan orang Danau Toba. Sedang Pulau kecil di tengah-tengahnya diberi nama Pulau Samosir.
    Cerita Rakyat “Asal Usul Danau Toba“, diceritakan kembali oleh Kak Ghulam Pramudiana.

Teman Baik yang Khianat

    Print This Post Print This Post
  • Muka-ku memerah, sedang marah besar. Rasanya kepala-ku mau pecah saat ini juga. “Grrrrhhhh!!!! Aku benci padamu, Morin!”, gumam-ku dalam hati. Tiba-tiba Sylvia, kakak-ku, datang. “Ada apa, Venda? Kamu kayaknya lagi marah, deh! Coba cerita sama kakak ada apa….”, bujuk Kak Sylvia. “Ah, kakak nggak perlu tahu! Ini masalahku sendiri,”, kataku dengan senyum di bibir. Padahal, saat itu aku masih ada rasa benci dengan Morin.
    “Ayolah, Venda…. Kamu dulu sudah pernah bilang sendiri, kan? Di keluarga kita ini nggak ada lagi yang namanya rahasia-rahasiaan. Kita harus saling terbuka satu sama lain,”, kata Kak Sylvia. “Maafkan Venda, ya, Kak… Dulu, memang Venda pernah berkata seperti itu. Namun sekarang aturan itu sudah hilang. Venda maaf… banget.”, kataku merahasiakan.
    Kak Sylvia duduk disampingku, duduk diatas kasur. “Venda, Kakak janji, kok, nggak akan ada yang tahu tentang ini. Dan Venda tenang saja, karena Kakak nggak akan bocorin rahasia ini ke siapapun.”, kata Kak Sylvia. “Kakak janji?”, Kak Sylvia mengangguk. “Nggak akan beritahu ke siapapun termasuk ke Mama Papa?”, tanyaku. “Ok, rahasiamu aman ditanganku,”, kata Kak Sylvia.
    Aku mengangguk mantap. Sebenarnya… aku tidak mau memberitahukan ke siapapun tentang ini. Tapi… aku sendiri sudah mengatakan bahwa di keluarga ini tidak ada lagi rahasia-rahasiaan. “Ok, Kak… Kakak janji, ya, jangan bilangin ke siapa-siapa.”, kataku. “Iya, bukannya kamu sudah bilang tadi?”, tanya Kak Sylvia.
    “Cerita ini sangat mengharukan. Tadi, waktu aku istirahat di sekolah, aku menghampiri Morin, Aminah, Hanni, dan Henna. Saat itu Morin bertanya padaku; “Ibumu namanya Bu Syalabiyyah, kan?”. Lalu aku menjawab; “Kalau iya, memang kenapa?”. Tapi dia malah mengejek; “Syalabiyyah, kalau ditengah-tengah huruf a dan b ditambah huruf h jadi apa? Terus, huruf y itu dibuang. Jadi apa coba?”. Aku menjawab; “Salahbiyyah?”. Dia malah tambah mengejek; “Coba kata ‘biyyah’ nya kamu hapus.”. Aku lalu berseru marah; “Apa?! Kamu mengejek Mama-ku, ya?!”. Aku lalu pergi ke kantor, dan melaporkan kronologis itu pada Bu Ririn, begitu,”, uraiku sedih.
    “Lalu, apa yang dikatakan Bu Ririn pada anak-anak nakal, itu?”, tanya Kak Sylvia, matanya memerah, seraya menahan tangis. “Anak-anak! Kalian harus meminta maaf pada Venda. Dia kan, kasihan. Masa orangtuanya kalian ejek. Kalian harus tahu, mengejek orangtua teman itu sama saja mengejek orang tua sendiri.”, jelasku.
    “Lalu?”, tanya Kak Sylvia. “Lalu mereka saling tunjuk, dan aku memberi tahu pada Bu Ririn, bahwa hanya Morin yang mengejek. Morin tertunduk, lalu meminta maaf.”, jelasku. “Apakah kamu memaafkan Morin? Aku ingin tahu jawabmu,”, ujar Kak Sylvia. “Tidak akan!”, seruku.
    Keesokan harinya….
    Saat istirahat tiba, aku tidak menghampiri teman baikku yang kini telah berubah, Morin. Namun, aku masih memiliki teman baik yang banyak. Dulu sih… Morin akrab sekali denganku. Atau bisa dibilang Morin dan aku adalah best friend atau nama lainnya sahabat sejati. Namun kini tidak lagi. Sekarang dia, best friend-ku itu telah menjadi bad friend, atau teman buruk. Ya… tidak sampai bad friend-lah. Paling hanya sebatas benci. Meski aku tahu dia hanya bercanda, tapi bercandanya itu sudah jauh diluar batas.
    Aku menghampiri Ghiani dan Putri. “Ghiani, Putri, kita main, yuk!”, ajakku. “Aduh… sayang sekali, Venda. Padahal kami mau mengajak Morin bermain.”, kata Ghiani. “Jangan cemas Ghiani… kita bisa mengajak Venda bermain bersama dengan Morin bukan?”, kata Putri.
    “Apa? Morin?! Aku bilang pada kalian ya…. Teman baikku itu….” “Sttt…. diam dulu, dia akan datang kesini. Lihat saja!”, sahut Ghiani. “Venda, kita main, yuk!”, ajak Morin sambil menggandeng tanganku. “Sorry banget, Rin, aku mau…”, aku tak bisa melanjutkan kata-kataku.
    “Aku kan sudah minta maaf sama kamu dengan kejadian kemarin. Kamu nggak memaafkan aku, ya?”, Morin menaikkan alisnya. “B-bukan begitu, Morin, aku hanya… Aku juga minta maaf, selama ini kita sudah menjadi best friend, tapi kini tidak lagi…”, kataku.
    “Apa? K-kamu tidak memaafkan aku? Kita memang sudah menjadi best friend sedari dulu, Venda. Aku kan sudah minta maaf. Tapi apakah kamu tidak mau memaafkan aku? Teman baikmu sendiri. Dan sekarang kamu sudah menganggapku sebagai bad friend? Begitu?”, ujar Morin dengan marah. Astaga! Aku tak menyangka kalau Morin tahu apa yang ada di pikiranku.
    “Tidak sampai bad friend, Morin…”, kataku. “Lalu? Apa maksudmu melakukan semua ini?”, tanya Morin. “Aku sangat minta maaf Morin. Meski aku tahu kamu hanya bercanda, tapi bercanda-mu sudah diluar batas. Dan itu tidak baik,”, kataku, lalu pergi meninggalkan mereka bertiga.
    Morin berusaha mengejarku. “Maafkan aku Venda… Maafkan aku… Aku sungguh minta maaf padamu. Semua ini hanyalah bercanda. Maafkan aku kalau semua ini aku salah. Tapi jangan membenciku, Venda… Aku juga tidak akan membencimu. Tapi aku mohon padamu untuk memaafkan aku. Semoga nasi belum menjadi bubur. Sungguh, aku minta maaf, Venda…”, mata Morin memerah, seperti menahan tangis.
    “Ok, aku akan maafkan kamu, tapi kamu harus berjanji tidak akan mengejek seperti itu lagi.”, Morin mengangguk, matanya kini berbinar-binar. “Seorang ibu adalah pahlawan terbesar untuk kita. Meski pahlawan RI memiliki jasa yang besar, tapi ibu-lah yang memiliki jasa paling besar.”, kataku. “Jadi… kamu memaafkan aku? Terima kasih banget, ya, Ven! Soalnya dosa mengejek orang tua itu sangatlah besar. Dan aku juga tahu, kalau arti dari Syalabiyyah itu adalah cantik, sama seperti ibumu. Ibumu juga cantik.”, puji Morin.
    Akhirnya, aku dan Morin saling berpelukan. Dan mulai saat itu, kami menjadi teman baik lagi.
    Dikirim dan ditulis oleh: Sheryl Ghiani Tianindy (Nindy)

Pak Serkah

    Print This Post Print This Post
  • Pada suatu masa, hiduplah Pak Serkah dan keluarganya. Pak Serkah hanya bekerja sebagai pedagang keliling. Hidupnya serba kecukupan. Dia mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Nana. Barang-barang yang dijualnya ada ember, gayung, tempat minum, tempat makan, dan lain-lain. Semua barang dagangannya itu dimasukkan-nya kedalam sebuah gerobak tua pemberian Kakeknya yang sudah meninggal. Itulah hadiah terakhir Pak Serkah dari Kakeknya.
    Pada suatu hari, seperti biasa, Pak Serkah berkeliling menjual dagangannya. Namun, apa yang terjadi? Dagangan Pak Serkah tidak laku sama sekali. Pak Serkah duduk di taman kota sambil termenung. “Oh… sungguh malang nasibku ini…”, gumam Pak Serkah dalam hati.
    Tiba-tiba seorang Kakek tua yang berwajah mirip sekali dengan Kakek Pak Serkah datang. Dia berpakaian kumal, penuh tambalan, dan membawa sebuah topi berisi beberapa keping uang receh. Ternyata dia adalah seorang pengemis.
    “Maaf, Pak, jujur, saya ingin membantu. Tapi dagangan saya hari ini tidak laku sama sekali. Jadi, saya tidak memiliki uang…”, kata Pak Serkah. “Oh… terimakasih,”, kata Pengemis itu, lalu berbalik arah. “Tunggu dulu, Kek! Tapi Kakek boleh mengambil salah satu dari barang saya ini. Saya ikhlas, kok!”, ujar Pak Serkah.
    Kakek Pengemis itu lalu berbalik arah lagi, lalu mengambil salah satu barang dari gerobak Pak Serkah. “Terima kasih, Nak! Semoga Allah memberimu balasan yang lebih besar. Tapi ingat, setelah kau menjadi kaya, sisihkanlah sebagian uangmu dan gunakanlah untuk beramal,”, kata Pengemis itu.
    Pengemis itu pun pergi. Tak berapa lama setelah Pengemis itu pergi, sebuah bus berhenti di situ. Semua penumpang turun dan mengerubungi Pak Serkah. Ada yang membeli ember, gayung, topi, dan lain-lain. Semuanya laku terjual. Bahkan tempat minum bocor pun laku.
    Pak Serkah melongo. “Bagaimana ini bisa terjadi?”, gumam Pak Serkah bingung. Sudahlah… ini kan rejeki, rejeki patut disyukuri… Pak Serkah menenangkan diri.
    Saat Pak Serkah menengok ke gerobaknya, Pak Serkah melihat tempat makannya dan topi yang robek pun laku terbeli. Pak Serkah mulai sadar, kalau segala barang yang dimasukkannya ke dalam gerobak itu pasti akan laku terjual.
    Pak Serkah lalu pulang ke rumahnya dengan wajah yang berseri-seri. “Kenapa Bapak terlihat begitu bahagia, Pak?”, tegur Nana. “Mungkin semua dagangannya laku terjual,”, kata Bu Tiauw, istri Pak Serkah. “Benarkah, Bapak?”, Tanya Nana. Pak Serkah mengangguk.
    Keesokan harinya, Pak Serkah mulai memasukkan barang dagangannya ke dalam gerobak kesayangannya itu. Dan…. seperti kemarin, semua barang yang ditaruh di situ laku semua!
    “Alhamdulillah…”, gumam Pak Serkah bangga.
    Semakin lama, Pak Serkah menjadi kaya. Rumah nya yang terbuat dari gedek’ (anyaman), sekarang sudah dibangun menjadi dinding dari beton, dia sekarang sudah memiliki sawah yang berhektar-hektar luasnya, kebunnya sangatlah luas, dan dia juga sudah memiliki kios tersendiri. Semua barang dagangannya ditaruh di gerobak ajaibnya, supaya cepat laku. Semakin lama, Pak Serkah memang menjadi kaya. Namun, semakin lama, Pak Serkah membagi uangnya menjadi tiga bagian. Satu itu keperluan keluarga, satu untuk membeli barang dagangan, dan satu untuk beramal. Pak Serkah semakin lama berpikir kalau semuanya itu adalah kenikmatan yang patut disyukuri. Tapi, Pak Serkah malah tidak begitu mensyukurinya. Uang yang disisihkannya untuk beramal kini semakin menipis, bahkan sekarang tidak ada lagi beramal. Dia hanya membagi uangnya menjadi dua. Satu untuk keluarga, dan satunya lagi untuk membeli barang.
    Pak Serkah merasa ingin membeli traktor untuk sawahnya, lalu ingin membangun kolam ikan di kebun yang harganya mahal, membuat peternakan, dan bahkan, Pak Serkah ingin membeli sawah lagi!
    “Pak… kenapa Bapak sekarang tidak pernah beramal lagi?”, tegur Nana suatu saat, saat mereka makan malam bersama. “Eeee…. Mmm…. sebenarnya Bapak juga ingin memberi mereka sedekah, Nak. Bapak jujur….”, kata Pak Serkah. “Kalau begitu, kenapa sekarang Bapak tidak menyisihkan uang untuk beramal lagi?”, Tanya Bu Tiauw.
    “Begini, Bu, semakin lama kebutuhan kita semakin banyak saja. Kalau saja kebutuhan kita tidak sebanyak ini, Bapak pasti akan bersedekah.”, Pak Serkah memberi alasan. “Ah, itu cuma alasanmu saja, Pak. Pokoknya, aku ingin kita bersedekah.”, kata Bu Tiauw. “Jangan memaksa, Bu…”, kata Pak Serkah. “Bapak, kalau Bapak tidak mau beramal, nanti, di akhirat nanti, Bapak pasti akan dihukum oleh Allah SWT.”, kata Nana.
    “Kalian berdua sama saja. Pokoknya aku nggak mau. Aku merasa sekarang kebutuhan kita semakin bertambah, jadi, uang yang kita butuhkan semakin banyak juga,”, kata Pak Serkah. “Bapak ngomongnya kok diulang-ulang terus, sih? Kayak kaset rusak aja, deh!”, ledek Nana. “Gggrrrhhh….. kamu ini anak kecil kok!!!”, marah Pak Serkah.
    Pak Serkah tidak peduli dengan apa yang dikatakan Bu Tiauw dan Nana, akhirnya, Pak Serkah tidak mau beramal. Tidak mau beramal meski hanya sedikit.
    Namun, disamping itu, Bu Tiauw dan Nana selalu beramal dan berinfaq. Diam-diam, kadang, Bu Tiauw mengambil sebagian uang Pak Serkah untuk diinfaqkan. Bu Tiauw dan Nana memang berhati mulia.
    Pada suatu hari, saat Pak Serkah melihat dompetnya, Pak Serkah kebingungan, uang sebesar Rp. 200.000,00 nya hilang. Pak Serkah tidak tahu kalau Bu Tiauw mengambilnya.
    “Bu, tadi ada pencuri yang mengubek-ubek dompetku, nggak?”, Tanya Pak Serkah pada Bu Tiauw. “Nggak ada, kok! Tapi cuma aku dan Nana yang masuk. Dan kami berdua pastinya bukan pencuri, kan?”, jawab Bu Tiauw, pura-pura tidak tahu.
    “Ya Allah…. apakah ini hukumanmu bagi hambamu yang kurang bertaqwa ini?”, gumam Pak Serkah dalam hati. Mulai dari hari itu juga, Pak Serkah rajin beramal dan berinfaq lagi. Uangnya dibagi menjadi tiga bagian lagi.
    “Bu, apakah Bapak sudah insyaf?”, Tanya Nana suatu saat. “Bukannya insaf Nana… Tapi Bapak-mu itu sudah menyadari kesalahannya. Jadi, dia berusaha menghapus kesalahannya itu,”, jelas Bu Tiauw. “Oh…”, kata Nana mengerti.
    Tiba-tiba Pak Serkah datang. “Bu… semua amalan sudah saya berikan. Saya sudah meminta maaf kepada Allah yang maha esa. Sekarang, tidak ada lagi pencuri yang mengambil uangku. Mungkin Allah sudah mau mengampuniku,”, kata Pak Serkah. “Pak… sebenarnya ini rahsia. Tapi yang namanya keluarga tidak boleh ada rahasia-rahasiaan.”, kata Bu Tiauw. “Ok!” “Tidak ada pencuri yang datang. Semuanya aman. Akulah yang mengambilnya untuk beramal. Tapi maaf kalau aku tidak bilang,”, jelas Bu Tiauw. Hahaha… Mereka bertiga pun tertawa terbahak-bahak.
    “Aku tidak akan sombong lagi, dan kau juga tidak boleh mengambil uang orang tanpa ijin ya, Bu…”, kata Pak Serkah. “Aku senang Bapak menjadi orang yang baik lagi, Pak…”, kata Bu Tiauw.
    Perlu diketahui, orang yang pelit akan mempersempit rejekinya. Dan suka beramal bukan membuat orang yang beramal menjadi miskin. Akan tetapi, di akhirat nanti, Allah pasti akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Dan begitu pula sebaliknya.
    Dikirim oleh: Donita Keizha Az-Zahra

Legenda Telaga Bidadari

    Print This Post Print This Post
  • Legenda Telaga BidadariTelaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
    Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.
    Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.
    Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.
    “Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
    Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
    Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkansuara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.
    Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air.
    “Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.
    Legenda Telaga BidadariDari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.
    Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi).
    Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
    Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
    “Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”
    Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
    Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.
    Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
    Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
    Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.
    “Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.
    Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya.
    “Aku harus kembali,” katanya dalam hati.
    Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga.
    Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.
    “Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
    Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya.
    Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.
    Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
    Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.

Entong Gendut Dari Batuampar

    Print This Post Print This Post
  • Pajak seyogianya diambil seperlima dari hasil panen. Bagian itu bisa berwujud padi, palawija, atau hasil pertanian lainnya, semuanya harus diserahkan kepada tuan tanah. Setelah tahun 1912, tuan tanah tidak mau lagi menerima bagian pajaknya. Dia minta kenaikan dua kali lipat. Alasannya, antara lain karena hasil panen jauh lebih bagus dari musim lalu. Dengan perbaikan sistem irigasi dari sungai ke sawah-sawah membuat hasil panen berlipat ganda, serta akibat pengukuran ulang. Tidak diremehkan pula kegigihan para mandor melakukan kontrol menjelang potong padi.
    Umumnya para petani keberatan. Kenaikan 20% bukan hal ringan. Pajak yang berat. Para petani usul agar pajak itu diganti dengan sewa tanah. Akan tetapi, tuan tanah menolak sebab dialah yang berkuasa. Jadi, dia pulalah yang menentukan. Mereka yang merasa keberatan lebih baik pindah ke gunungsaja.
    Praktek-praktek busuk para mandor beserta centeng-centengnya di sawah waktu menimbang padi sangat meresahkan para petani. Kalau menimbang padi untuk pajak tuan tanah dilebih-lebihkan. Pihak petani dirugikan terus. Merekalah yang selalu menerima bagian paling buruk dan paling sedikit.
    Kegiatan lain yang meresahkan para petani adatah “kompenian”, yaitu kerja bakti tanpa upah untuk kepentingan para tuan tanah. Para petani dan warga desa, laki-laki dewasa pada umumnya, bersungut-sungut. Mereka sering berbisik-bisik atau berunding sembunyi-sembunyi untuk melakukan perlawanan.
    “Patahkan saja lehernya!”
    Salah seorang petani dan warga desa lainnya menyambut dengan bersemangat, “Ya, nanti kita patahkan lehernya!”
    Suasana makin panas.
    Tuan tanah tahu suasana panas itu. Para petani dan warga desa tidak main-main. Oleh karena itu, permintaan agar pajak diganti dengan sewa tanah diluluskan. Akan tetapi, banyak petani yang akhirnya tidak mampu membayar. Barang-barang mereka dirampas mandor dan diserahkan kepada tuannya. Kalau tetap tidak bisa membayar sewa tanah, atau tidak ada lagi barang untuk menutup, rumah harus dijual. Pembelinya tuan tanah juga dengan harga amat murah.
    Tuan tanah sering hanya mendapat rumah rusak. Dia lalu memerintahkan mandor dan para centeng untuk membakar. Petani-petani malang itu makin sengsara. Sejak itu suasana semakin buruk.
    Pada tanggal 14 Mei 1914 ada suatu peristiwa, yaitu Taha dihadapkan ke pengadilan. Dia petani dari Batuampar. Dia diputuskan pengadilan harus membayar pajak sebesar 7 gulden. Kalau tidak bisa membayar, rumahnya akan segera disita.
    Kemudian, Taha bercerita kepada kawan-kawannya. Mereka berkumpul di kebun Jaimin, tidak jauh dari rumah Taha, Orang-orang itu diberi semangat oleh Entong Gendut. Lalu, mereka berteriak bahwa putusan itu tidak adil.
    Kenyataannya, tiga hari kemudian rumah Taha disita, Tuan tanah hanya membayar 4 1/2 gulden. Untuk melunasi utang pajak saja masih kurang. Gema tidak puas melanda Batuampar, Entong Gendut dan kawan-kawannya marah sekali. Namun, untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah, Para mandor, dan centengnya, masih dirasa berat bagi Entong Gendut. Dia dan kawan-kawannya harus mempersiapkan din terlebih dulu, antara lain dengan belajar dan berlatih silat. Entong Gendut sebagai pelatih karena sejak dulu dia dikenal sebagai pendekar.
    Entong Gendut dibantu Modin dan Maliki. Mereka dari Batuampar juga. Anggota perkumpulan silatnya semula hanya beberapa gelintir orang, tetapi akhirnya bertambah, mencapai lebih dari 400 orang. Di antaranya yang bersungguh-sungguh adalah Haji Amat Awab, Said Keramat, Nadi, dan Dullah. Orang-orang Arab ada juga yang ikut, antara lain Ahmad Alhadat, Said Muksin Alatas dari Cawang, dan Alaidrus dari Cililitan.
    Peristiwa berikutnya terjadi di Vila Nova, rumah mewah milik Lady Rollinson di Cililitan Besar. Malam itu tanggal 5 April 1916 berlangsung pesta amat meriah. Hiburan untuk rakyat sekitar juga semarak. Tuan Ament pemilik tanah luas di Tanjung Timur datang dengan mobilnya. Sebelum sampai di jembatan, sekelompok orang tidak dikenal melempari mobilnya dengan batu. Tuan Ament tidak mempersoalkan kaca belakang mobilnya yang pecah dan
    penyok-penyok itu. Dia bergegas masuk ke pelataran rumah Lady Rollinson. Di situ dia bergabung dengan tamu-tamu terhormat lainnya. Dia ikut menyaksikan hidangan seni berupa musik dan tari-tarian yang menyenangkan. Dia merasakan nikmatnya wiski, gurihnya daging kalkun, dan semerbaknya panggang babi. Dia bertukar pengalaman dengan kawan-kawannya yang sederajat. Ada tuan tanah Kemayoran, tuan tanah Pondok Gede, para wedana, serta tidak ketinggalan pula noni-noni bermata biru berambut pirang dan sinyo-sinyo yang tertawa-tawa kecil dan agak malu-malu.
    Di luar halaman berpagar tinggi itu rakyat menonton hiburan gratis seperti topeng dan wayang kulit. Mereka berjubel. Sekali-sekali mereka yang berada di luar pagar itu memperhatikan pemandangan pesta di halaman rumah Lady Rollinson.
    Pesta di dalam makin menghangat. Pasangan-pasangan berdansa diiringi musik. Lalu, mendekatlah seorang pelayan kepada Lady Rollinson.
    “Bagaimana, Tija?” tanya nyonya majikannya. “Saya sudah tahu, Nyonya.”
    “Jadi, benar Entong Gendut pimpinannya?”
    “Tidak salah, Nyonya.”
    “Dia pula yang menggerakkan orang untuk melempari mobil tuan Ament?”
    “Ya, Nyonya.”
    Lady Rollinson mendekati Tuan Ament dan menganjurkan agar dia melapor ke komandan polisi dengan cepat.
    “Tentu saja, Lady Rollinson,” jawab Tuan Ament, “pada waktu yang diperlukan saya bisa bertindak cepat. Sekarang tenang saja dulu.”
    Tiba-tiba tetabuhan di luar pagar berhenti. Orang-orang yang berjualan makanan dan minuman
    menutup kegiatannya. Para penonton bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Seketika sepi dan lampu-lampu keramaian dimatikan. Hal itu membuat tamu-tamu yang berpesta di rumah Lady Rollinson mulai berpikir, jangan-jangan bahaya mengancam. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik mereka minta diri kepada nyonya rumah. Mereka tergesa-gesa pulang dengan bendi atau mobil. Lady Rollinson ikut gelisah dan marah. Dia segera lapor kepada komandan polisi dan berkeluh kesah kepada residen.
    Sementara itu, pengaruh Entong Gendut dan pembantu-pembantu dekatnya makin kuat. Apa yang dikatakan Entong Gendut diikuti semua oleh warga Batuampar dan sekitarnya. Wedana Meester Cornelis didatangi bawahannya yang menyampaikan laporan. Ia mengatakan bahwa pengaruh bek di kelurahan tidak bermanfaat lagi. Telinga dan mulut Entong Gendut ada di mana-mana.
    Wedana Meester Cornelis dikawal komandan pasukan serta polisi melakukan peninjauan ke Batuampar. Di depan rumah yang diduga milik Entong Gendut, dia langsung memerintahkannya keluar, kalau tidak pintu akan didobrak. Entong Gendut menjawab dari dalam akan bersembahyang dulu. Selesai sembahyang, Entong Gendut menampakkan diri. Dia berjubah putih, di dadanya tersembul keris, dan tangannya memegang tombak panjang. Para pengawalnya bersorban dan bertombak berdiri di belakangnya.
    “Aku raja dan aku tidak mau tunduk kepada siapa pun. Aku tidak mau mengikuti pimpinan hukum, apalagi buatan Belanda.”
    Wedana Meester Cornelis berunding dengan opsir-opsir polisi. Sementara itu Entong Gendut meneruskan bicaranya, “Wedana, ketahuilah. Aku amat malu kepada kawan-kawanku para tuan tanah. Mereka telah membakar rumah penduduk miskin. Apa salah mereka? Hanya karena mereka petani miskin dan tidak mampu membayar pajak serta sewa tanah yang mahal, lalu rumah mereka dihanguskan? Amat disayangkan!”
    Para pengikut Entong Gendut lainnya keluar dari semak-semak. Mereka bersenjatakan panah dan tombak. Wedana dan para pengawalnya kaget sekali. Dia lalu memerintahkan untuk melepaskan tembakan, ramailah kampung Batuampar. Tidak sedikit polisi kena bacok dan tertembus anak pariah. Entong Gendut bersuara lantang. Teriakan-teriakan Allahu Akbar menggema.
    “Amuk, amuk!” teriak anak buah Entong Gendut sambil melemparkan tombak dan mengayunkan pedang. Serdadu Bala bantuan datang. Anak buah Entong Gendut banyak yang bergelimpangan. Beberapa rumah terbakar, penduduk yang tua, kaum perempuan, dan anak-anak diungsikan. Akan tetapi, korban warga Batuampar semakin banyak juga.
    Entong Gendut terluka. Dadanya tertembus peluru, darah segar mewarnai jubahnya yang putih. Anak buahnya mengerumuninya. Wedana Meester Cornelis memerintahkan komandan pasukan untuk mengikat tangan Entong Gendut. Lalu, dia dinaikkan ke tandu dan diangkut ke Rumah Sakit Kwini. Namun, di tengah perjalanan, Entong Gendut tidak bernapas lagi. Para pengikutnya dikejar-kejar polisi. Mereka terus dicari sampai ke Condet dan Tanjung Timur. Setelah tertangkap, mereka dimasukkan ke penjara.

Pohon Apel

    Print This Post Print This Post
  • Apple_TreeSuatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawahpohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
    Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.
    “Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.
    “Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
    “Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
    Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”
    Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
    Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.
    “Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel.
    “Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
    “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?”
    “Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.
    Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
    Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
    “Ayo bermain-main lagi deganku,” kata pohon apel.
    “Aku sedih,” kata anak lelaki itu.
    “Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
    “Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.” Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya.
    Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
    Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
    “Maaf anakku,” kata pohon apel itu.
    “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”
    “Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.
    “Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.
    “Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.
    “Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
    “Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki.
    “Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”
    “Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”
    Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
    Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ayam dan Sapi

    Print This Post Print This Post
  • 22452-bigthumbnail
    Sapi dan Ayam
    “Kenapa sih”, kata seorang kaya pada pelayannya, “Orang-orang mengataiku pelit. Padahal semua orang kan tahu kalau aku wafat nanti, aku akan memberikan semua yang aku punya pada yayasan sosial dan panti asuhan?” “Akan saya ceritakan fabel tentang ayam dan sapi,” jawab pelayannya. “Sapi begitu populer, sedangkan sang ayam tidak sama sekali. Hal ini sangat mengherankan sang ayam. ‘Orang-orang berkata begitu manis tentang kelemahlembutan dan matamu yang begitu memancarkan penderitaan’, kata ayam pada sapi. ‘Mereka mengira kamu begitu murah hati, karena tiap hari kamu memberi mereka krim dan susu. Tapi bagaimana dengan aku? Aku memberikan semua yang aku punya. Aku memberikan daging ayam. Aku memberikan bulu-buluku. Bahkan mereka memasak dan membuat sup dengan kakiku untuk kaldu. Tidak ada yang seperti itu. Kenapa sih kok bisa begitu ?’”
    “Apakah anda tahu apa jawaban sang sapi?”, kata pelayan.
    Sang sapi berkata, “Mungkin karena aku memberikannya sewaktu aku masih hidup.”